Cerpen Terbaru: Aku Menari Di Istana, Tapi Langkahku Dipenuhi Bayangan Kematian
Aku Menari di Istana, Tapi Langkahku Dipenuhi Bayangan Kematian
Lantai marmer dingin memantulkan rembulan yang mengintip malu dari balik awan. Di tengah Aula Keemasan yang megah, aku menari. Gerakan anggun, senyum terkembang, seolah tak ada beban di pundak. Padahal, setiap langkah adalah penyesalan, setiap putaran adalah kematian yang tertunda.
Dulu, tawa renyah menggema di lorong-lorong istana ini. Aku, Meilin, si putri kesayangan Kaisar. Sekarang, aku hanya bayangan. Seorang selir tanpa nama, tanpa hak, tanpa suara.
Guqin melantunkan nada sendu, menyayat kalbu. Musik ini, seperti diriku, dipenuhi rahasia. Rahasia yang lebih pahit dari empedu, lebih gelap dari malam tanpa bintang. Rahasia tentang pengkhianatan.
Pangeran Jian, cintaku. Dulu. Sekarang, dia Kaisar. Suamiku. Pembunuh ayahku.
Aku tahu. Aku melihatnya sendiri. Malam itu, di taman bunga persik yang bermekaran. Pedangnya yang berkilau memantulkan cahaya bulan, tepat sebelum menghujam jantung Kaisar. Ayahku menjerit, menyebut nama Jian. Lalu, hening.
Aku memilih diam. Bukan karena lemah. Bukan karena takut. Tapi karena aku tahu, jika aku bersuara, Jian akan membunuh semua orang yang aku cintai. Dan aku... aku mengandung benihnya. Benih seorang Kaisar yang lahir dari darah dan pengkhianatan.
Misteri kecil mulai menghantuiku. Surat-surat anonim berisi penggalan puisi kuno. Anggrek hitam yang tiba-tiba muncul di kamarku setiap pagi. Tatapan aneh dari para kasim. Mereka tahu? Ataukah ini hanya permainan Jian?
Bertahun-tahun berlalu. Anakku, Pangeran Rui, tumbuh menjadi pemuda yang gagah berani. Jian menyayanginya, menjadikannya pewaris tahta. Tapi aku tahu, di balik senyumnya, Jian menyimpan ketakutan. Ketakutan bahwa Rui akan mengetahui kebenaran.
Suatu malam, aku dipanggil menghadap Kaisar. Jian duduk di singgasananya, wajahnya pucat pasi. Di tangannya, selembar kertas. Surat anonim. Tapi kali ini, isinya bukan puisi. Isinya adalah pengakuan. Pengakuan tentang kejahatannya. Pengakuan yang ditandatangani dengan nama… Meilin.
Aku tersenyum tipis. Bukan aku yang menulis surat itu. Tapi Jian percaya. Dia percaya karena dia tahu, dalam hatiku, aku membencinya. Dia percaya karena dia tahu, dia pantas dihukum.
"Aku tahu," bisiknya, suaranya bergetar. "Aku tahu kau merencanakan ini."
Aku hanya menari. Di hadapannya. Dengan anggun, dengan tanpa ampun.
Jian jatuh sakit. Perlahan, namun pasti. Racun. Bukan aku yang meracuninya. Tapi ketakutan. Rasa bersalah. Penyakit yang tak bisa disembuhkan.
Pangeran Rui menggantikannya menjadi Kaisar. Bijaksana, adil, dicintai rakyatnya. Dia tidak tahu kebenaran. Dia tidak akan pernah tahu.
Takdir berbalik arah. Balas dendam hadir tanpa kekerasan. Hanya dengan diam. Hanya dengan menunggu. Hanya dengan menari.
Sekarang, aku menatap langit malam. Bulan bersinar penuh. Aku mendengar lantunan guqin. Aku melihat bayangan kematian. Tapi kali ini, bayangan itu menari bersamaku.
Apakah Pangeran Rui akan mewarisi dendamnya, ataukah kebaikan yang akan menang?
You Might Also Like: Perbedaan Sunscreen Lokal Ringan Cocok