Kisah Seru: Rahasia Yang Mengguncang Singgasana
Kaisar Li Wei, sosok perkasa dengan tatapan setajam elang, berdiri mematung di taman bunga terlarang. Di hadapannya, berdiri Jing Yue, wanita yang dulu menghiasi istana dengan tawa bagai lonceng perak, kini hanya gema kesedihan dalam balutan sutra putih.
"Jing Yue…" bisik Li Wei, suaranya serak tertelan angin musim gugur. Dulu, bibir ini melafalkan janji abadi di bawah rembulan, janji yang kini terasa seperti debu di lidah.
"Kaisar," sahut Jing Yue, kepalanya tertunduk. Rambut hitamnya yang dulu terurai indah kini disanggul sederhana, menandakan statusnya yang terbuang. "Kenangan itu… biarlah terkubur bersama daun-daun berguguran."
Mata Li Wei berkilat. Lima belas tahun lalu, dia, sang pangeran pewaris tahta, telah bersumpah setia hanya pada Jing Yue, gadis penjual teh yang hatinya selembut sutra. Mereka berjanji akan melarikan diri, meninggalkan hiruk pikuk istana, dan hidup bahagia dalam kesederhanaan. Namun, pengkhianatan keji kakaknya, Pangeran Kedua, telah memaksanya untuk memilih: tahta atau cinta. Ia memilih tahta.
"Tahukah kau, Jing Yue, setiap malam, aku bermimpi tentangmu? Tentang tawa ITU yang seharusnya mengisi istana ini, bukan gemuruh perang dan intrik?" Li Wei melangkah mendekat, tangannya terulur ragu. "Aku... aku TERPAKSA."
Jing Yue mengangkat wajahnya. Air mata mengalir di pipi pucatnya, membasahi riasan tipisnya. "Terpaksa? Apakah terpaksa merenggut kebahagiaanku? Apakah terpaksa menikahi putri Jenderal Agung untuk mengamankan kekuasaan? Apakah terpaksa membisu saat aku dituduh berkhianat dan diusir dari istana?" Suaranya bergetar, namun penuh dengan api yang membara. "Kau memilih takhtamu, Kaisar. Sekarang, nikmatilah kesendirianmu di atas singgasana yang DIPENUHI DARAH."
Li Wei terhuyung mundur, seolah ditampar kenyataan pahit. Ya, dia telah memilih. Dan pilihan itu telah merenggut segalanya. Cinta, kepercayaan, dan kedamaian batin. Dia mengkhianati janji, menghancurkan hati Jing Yue, dan membangun kekuasaan di atas puing-puing kebahagiaan mereka.
"Maafkan aku, Jing Yue… maafkan aku," desisnya, air mata ikut mengalir di pipinya.
Jing Yue tersenyum getir. "Maafmu... tak bisa mengembalikan waktu. Tak bisa menghidupkan kembali bunga yang telah layu. Tak bisa menutupi luka yang menganga." Lalu, dengan langkah anggun, ia berbalik dan menghilang di balik tirai bambu.
Namun, sebelum benar-benar menghilang, ia menoleh sekali lagi. Tatapannya dingin dan menusuk, tidak ada lagi kelembutan gadis penjual teh di sana. "Kaisar… dengarlah baik-baik. Kebahagiaan sejati tak bisa dibeli dengan kekuasaan. Dan ketahuilah, setiap tindakan ada konsekuensinya. Mungkin bukan sekarang… tapi kelak."
Beberapa bulan kemudian, wabah penyakit misterius melanda istana. Satu per satu pejabat tinggi dan anggota keluarga kekaisaran tumbang. Bahkan Permaisuri, putri Jenderal Agung, ikut menjadi korban. Li Wei, sang Kaisar, menyaksikan kerajaannya runtuh di hadapannya, tak berdaya. Penyakit itu MEMATIKAN, dan anehnya, hanya menyerang mereka yang terlibat dalam intrik pengkhianatan lima belas tahun lalu.
Bisik-bisik mulai terdengar. Ada yang menyebutnya kutukan, ada yang menyebutnya murka para dewa. Tapi Li Wei, dalam benaknya yang kalut, hanya melihat satu nama: Jing Yue.
Bukan dia yang meracuni mereka. Bukan dia yang menyebarkan penyakit. Hanya saja, takdir memiliki cara tersendiri untuk menuntut keadilan.
Cinta yang dikhianati... Akankah benihnya tumbuh menjadi dendam yang akan menghancurkan singgasana, ataukah akan menjadi bunga yang mekar di atas makam kenangan?
You Might Also Like: 74 Manfaat Moisturizer Lokal Dengan