Dracin Seru: Pelukan Yang Tersesat Di Antara Dunia
Cahaya senja meredup, memantul sendu di danau buatan di tengah taman kediaman keluarga Li. Tanganku, terbalut sarung tangan sutra putih, memegang erat cangkir porselen bergambar bunga sakura. Aromanya, melati dan krisan, tak mampu menghapus pahit di lidahku. Dulu, aroma ini adalah kebahagiaan. Sekarang? Hanya mengingatkanku pada KEBOHONGAN.
Li Mei, itulah namaku. Istri dari pewaris tahta bisnis keluarga Li, Li Wei. Orang-orang melihatku dengan iri. Kecantikan, kekayaan, dan suami yang tampan. Sempurna? Ah, betapa _senyum_ku ini menipu.
Dulu, aku percaya pada pelukan Li Wei. Hangat, erat, terasa aman. Kini aku tahu, pelukan itu bagai racun yang perlahan membunuhku. Perlahan, namun pasti. Dulu, aku memuja _janji_nya. Janji cinta abadi, setia selamanya. Kini, janji itu berubah menjadi belati yang menusuk jantungku berulang kali.
Aku melihatnya, di kejauhan, tertawa dengan wanita lain. Senyumnya, senyum yang dulu hanya untukku. Tangannya, menggenggam tangan wanita itu, tangan yang dulu hanya menyentuhku. Pemandangan ini terlalu familier, terlalu MENYAKITKAN.
Namun, aku tak menangis. Aku tak berteriak. Aku hanya menyesap tehku, perlahan. Di mata orang lain, aku mungkin terlihat tenang, anggun, tidak terpengaruh. Tapi di dalam, badai sedang mengamuk.
Aku sudah tahu. Aku sudah lama tahu. Perselingkuhan ini, kebohongannya, pengkhianatannya. Tapi aku menunggu. Aku menunggu saat yang tepat.
Perusahaan keluarga Li sedang berada di ambang kehancuran. Hutang menumpuk, investasi gagal, reputasi tercemar. Li Wei, dengan kesombongannya, menolak mendengarkan saran dari para penasihat. Dia pikir, dengan ketampanan dan senyumnya, dia bisa menyelesaikan segalanya. Konyol.
Aku, dengan sabar, menunggu. Aku menyalurkan dana, perlahan, diam-diam, ke rekening yang tak terlacak. Aku menarik para investor, satu per satu, menjanjikan keuntungan yang lebih besar. Aku menanam bibit keraguan di benak para petinggi perusahaan.
Saat yang tepat tiba. Li Wei, dalam keputusasaan, meminta bantuanku. Dia memohon, dengan air mata yang palsu. Dia berjanji, lagi, dengan kata-kata yang hampa. Aku tersenyum. Senyum yang tulus, namun dingin.
"Tentu saja, suamiku," kataku, dengan suara lembut. "Aku akan membantumu."
Aku memberinya dana. Dana yang cukup untuk menyelamatkan perusahaan. Dana yang sebenarnya adalah pinjaman dengan bunga selangit, dengan jaminan seluruh aset keluarga Li.
Kemudian, aku membiarkannya jatuh.
Perusahaan bangkrut. Aset disita. Reputasi hancur. Li Wei kehilangan segalanya.
Aku menemuinya, di taman kediaman keluarga Li yang kini sepi. Dia menatapku dengan tatapan kosong, penuh penyesalan.
"Kenapa?" tanyanya, dengan suara serak.
Aku tersenyum. "Kau pikir aku akan membiarkanmu lolos begitu saja? Kau pikir aku akan membiarkanmu menghancurkan hidupku tanpa konsekuensi?"
Aku berbalik, meninggalkannya dalam kehancuran. Aku tak mengambil hartanya. Aku tak mengambil kekuasaannya. Aku hanya mengambil kebahagiaannya. Aku mengambil harga dirinya.
Itulah balas dendamku. Bukan darah, tapi penyesalan yang abadi.
Aku tahu, aku mungkin akan menyesalinya suatu hari nanti. Tapi saat ini, aku merasakan kepuasan yang pahit. Kepuasan yang tercemar oleh rasa sakit dan kehilangan.
Aku meninggalkan taman itu, meninggalkan Li Wei yang terkapar dalam penyesalan. Malam semakin larut. Bulan bersinar redup, menyinari jalan yang gelap.
Cinta dan dendam, kurasa, lahir dari tempat yang... sama.
You Might Also Like: 7 Fakta Interpretasi Mimpi Menangkap