Dracin Terbaru: Aku Terbiasa Pada Jadwal, Tapi Rinduku Tak Bisa Diatur
Aku Terbiasa pada Jadwal, Tapi Rinduku Tak Bisa Diatur
Halaman istana berdebu. Di sanalah, di bawah pohon Meihua yang tengah meranggas, aku pertama kali melihatnya. Lin Wei. Bukan saudara kandung, bukan pula teman sebaya. Kami hanya dua bidak dalam permainan takdir yang lebih besar, terikat oleh sumpah setia yang terukir di tulang. Dia, sang pangeran yang dijanjikan. Aku, bayangan yang selalu ada di sisinya.
"Wei," bisikku suatu senja, aroma dupa memenuhi udara. "Jadwal kita hari ini?"
Dia menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang dulu menenangkanku, kini terasa seperti duri. "Sama seperti kemarin, Xiao Yu. Latihan pedang, pelajaran kaligrafi, dan menyambut senja dengan anggur bulan. "
"Dan kemudian?" tanyaku, menelisik matanya. "Kemudian apa?"
Wei tertawa hambar. "Kemudian kita berpura-pura, Xiao Yu. Berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja."
Kami tumbuh bersama. Belajar, berlatih, dan menyusun strategi di bawah bayang-bayang intrik istana. Kami adalah perisai dan pedang bagi satu sama lain. Atau setidaknya, itulah yang aku yakini.
Namun, di balik senyum dan janji setia, ada rahasia yang menggerogoti kami berdua. Rahasia yang terbungkus dalam surat wasiat kaisar terdahulu, rahasia tentang garis keturunan Wei, dan rahasia tentang siapa sebenarnya aku.
"Kau tahu," ujarku suatu malam, saat kami berdiri di balkon, menatap kota yang berkilauan di bawah sana. "Aku terbiasa pada jadwal kita. Jadwal latihan, jadwal makan, jadwal untuk melindungimu. Tapi ada satu jadwal yang tak bisa kuatur."
Wei menoleh, alisnya terangkat. "Jadwal apa itu?"
"Rinduku, Wei. Rinduku padamu."
Suasana menjadi tegang. Di balik kilauan bulan, aku melihat keraguan di matanya. Keraguan yang mengkonfirmasi kecurigaanku selama ini.
Siapa yang mengkhianati siapa? Pertanyaan itu berputar di benakku seperti badai. Aku selalu mengira Wei yang membutuhkan perlindunganku. Tapi ternyata, selama ini, akulah yang dilindunginya. Dilindungi dari kebenaran yang mengerikan.
Kebenaran tentang siapa aku sebenarnya. Aku bukan hanya seorang pengawal. Aku adalah… ahli waris sejati dari tahta naga.
Perlahan, misteri itu terkuak. Surat wasiat yang disembunyikan, identitas yang dipalsukan, dan pengorbanan yang tak terucapkan. Wei, sahabatku, saudaraku, telah menyembunyikan kebenaran untuk melindungiku, untuk membiarkanku menjalani hidup yang damai. Tapi dengan melakukan itu, dia telah mengkhianati takdirnya sendiri.
Malam itu tiba. Malam bulan purnama yang kelabu. Kami berhadapan di taman plum, pedang di tangan. Balas dendam harus ditegakkan. Bukan karena amarah, tapi karena keadilan. Karena takdir telah memilih.
"Maafkan aku, Wei," bisikku, air mata mengalir di pipiku.
"Tidak," jawabnya, suaranya bergetar. "Maafkan aku, Xiao Yu."
Pertarungan itu singkat, brutal, dan penuh dengan penyesalan. Di akhir, aku berdiri di atas tubuhnya yang tergeletak di tanah, pedangku berlumuran darah. Darah sahabat, darah saudara.
Saat aku menatap langit yang sunyi, kebenaran itu menghantamku seperti gelombang pasang. Aku telah membunuh orang yang paling kucintai, demi sesuatu yang tidak pernah kuinginkan.
"Aku melakukannya," bisikku, suaraku hilang ditelan angin. "Demi takhta… demi keluarga."
Aku berlutut, melepaskan pedang dari tanganku. Rasa sakit dan penyesalan menusuk jantungku, lebih tajam dari pedang mana pun.
Aku mendengar langkah kaki mendekat. Para penjaga. Mereka datang untuk membawaku pergi.
Sebelum mereka sampai, aku menatap jasad Wei sekali lagi. Matanya tertutup, bibirnya sedikit tersenyum. Senyum yang sama yang selalu menenangkanku, kini menghantuiku selamanya.
Semua ini... terjadi karena... aku... selalu... mencintaimu...
You Might Also Like: 0895403292432 Reseller Skincare Jualan