Cerita Seru: Aku Menari Di Istana, Tapi Langkahku Dipenuhi Bayangan Kematian
Aku Menari di Istana, Tapi Langkahku Dipenuhi Bayangan Kematian
Bunga meihua merekah di taman istana, aroma manisnya menusuk indra penciuman. Wangi yang sama... persis seperti seratus tahun lalu. Saat itu, aku bukan Selir Hua yang anggun, melainkan Mei Lan, seorang penari istana rendahan dengan hati yang menyimpan cinta terlarang.
Di kehidupan ini, takdir mempertemukanku kembali dengan Kaisar Li Wei, pria yang dulunya adalah Jenderal Zhao Feng, kekasihku. Tatapannya masih sama; tajam, penuh wibawa, dan... TERASA ASING.
Aku menari di hadapannya setiap malam. Gerakanku anggun, mempesona, menyembunyikan luka dan dendam yang membara. Setiap langkah adalah kenangan yang menghantui; suara kecapi yang mengiringi tarian adalah bisikan dari masa lalu.
"Selir Hua," panggilnya suatu malam, suaranya rendah dan berat. "Tarianmu... terasa familier."
Aku tersenyum tipis. "Mungkin, Yang Mulia, karena tarian adalah bahasa jiwa."
Jiwa yang telah BERREINKARNASI. Jiwa yang menyimpan rahasia kematian Mei Lan, dan janji yang belum tertepati.
Seratus tahun lalu, Zhao Feng difitnah dan dieksekusi atas tuduhan pengkhianatan. Mei Lan, yang mengetahui kebenarannya, dibungkam untuk selamanya. Sebelum menghembuskan napas terakhir, dia bersumpah: 'Aku akan kembali. Aku akan menemuimu lagi, Zhao Feng. Dan kau akan merasakan sakitnya pengkhianatan yang sama.'
Di kehidupan ini, aku punya kekuatan. Aku Selir Hua, kesayangan Kaisar. Aku punya akses ke informasi dan kekuasaan yang dulunya hanya bisa kumimpikan. Aku tidak akan membunuhnya dengan pedang atau racun. Balas dendamku lebih kejam: Aku akan membuatnya mencintaiku, lalu meninggalkannya dalam kesunyian dan penyesalan abadi.
Aku perlahan meracuni hatinya dengan perhatian, kebaikan, dan cintaku. Aku belajar semua kebiasaannya, kesukaannya, ketakutannya. Aku menjadi bayangan yang dia rindukan, hantu masa lalu yang bergentayangan di benaknya.
Suatu malam, saat bulan purnama bersinar terang, aku mengungkapkan kebenaran padanya. Tentang Zhao Feng, tentang Mei Lan, tentang pengkhianatan, tentang janji.
Dia terdiam, wajahnya pucat pasi. Kebenaran menghantamnya seperti badai yang menghancurkan segalanya.
"Maafkan aku," bisiknya, air mata mengalir di pipinya. "Aku... aku tidak ingat."
Aku tersenyum, senyum yang dingin dan menusuk. "Tidak masalah. Aku tidak membutuhkan maafmu. Aku hanya ingin kau tahu... bahwa aku menang."
Aku meninggalkan istana tanpa sepatah kata pun. Aku tidak membawa apa-apa selain kenangan dan keheningan. Aku memaafkannya, bukan untuknya, tapi untuk diriku sendiri. Dendam telah usai.
Di taman, di bawah pohon meihua, aku berhenti dan menghirup dalam-dalam aroma manisnya.
"...Masihkah kau mengingatku, Zhao Feng...?"
You Might Also Like: Kekurangan Pelembab Lokal Dengan Bahan