Cerpen: Cinta Yang Menghapus Nama Di Silsilah
Embun pagi di puncak Gunung Tai menggantung seperti air mata. Di sana, di antara bebatuan yang diselimuti kabut, berdiri Lan Mei, punggungnya menghadap jurang. Jubahnya berwarna nila, kontras dengan pucat wajahnya. Dia menunggu.
Di belakangnya, langkah kaki tergesa mendekat. Itu Wei Feng, mata elangnya redup, tertekuk oleh beban yang tak terucapkan. Mereka berdua, terikat oleh cinta yang tumbuh di tanah dendam keluarga, kini terpisahkan oleh tembok yang lebih tinggi dari gunung ini.
"Mei'er…" Suara Wei Feng serak, angin mencuri separuh ucapannya. "Aku mohon… jangan lakukan ini."
Lan Mei berbalik. Mata seindah gioknya kini berkilat dingin. "Terlambat, Wei Feng. Terlambat untuk segalanya."
Dia mengingat malam di paviliun bambu, di mana sumpah setia diukir di bawah bintang-bintang. Wei Feng, pewaris klan Wei yang berkuasa, berjanji akan melindunginya dari segala mara bahaya, bahkan jika itu berarti menentang keluarganya sendiri. Dia, Lan Mei, putri dari klan Lan yang telah dihancurkan oleh klan Wei satu dekade lalu, MENYERAHKAN hatinya.
"Aku sudah berusaha," Wei Feng membela diri, suaranya nyaris putus asa. "Aku mencoba meyakinkan ayahku. Tapi… dia tidak mau mendengarkan. Dia bilang, menikahi putri Lan sama saja dengan mengkhianati leluhur."
Lan Mei tertawa hambar. "Leluhur? Leluhur yang menumpahkan darah keluargaku ke tanah ini? Leluhur yang merenggut IBUku di depan mataku sendiri?" Setiap kata terucap seperti pecahan kaca, menghantam dada Wei Feng.
"Aku tidak tahu…" Bisiknya lirih, kepalanya tertunduk. "Aku tidak tahu detailnya."
Lan Mei mendekat, menatap Wei Feng dengan tatapan yang lebih tajam dari pedang. "Kau tidak tahu? Lalu apa yang kau tahu, Wei Feng? Bahwa kau akan mewarisi kekayaan dan kekuasaan, sementara aku mewarisi KEMATIAN dan KEHILANGAN?"
Air mata mulai mengalir di pipi Wei Feng. "Maafkan aku, Mei'er. Maafkan aku. Aku akan melakukan apa saja untuk menebusnya."
Lan Mei menggeleng. "Tidak. Tidak ada penebusan. Silsilah keluargaku telah ternoda oleh darah. Dan kau, Wei Feng, kau adalah bagian dari noda itu."
Dia mengeluarkan sebilah belati perak dari balik jubahnya. Bukan untuk melukai Wei Feng. Tapi untuk dirinya sendiri.
"Apa yang akan kau lakukan?" Wei Feng berteriak, mencoba meraihnya.
Lan Mei mengulurkan tangan, menyentuh pipi Wei Feng untuk terakhir kalinya. Sentuhan yang dulu memberinya kehangatan, kini terasa dingin dan hampa. "Aku akan menghapus namaku dari silsilah. Aku akan membebaskan diriku dari belenggu dendam ini… Dengan caraku sendiri."
Lalu, tanpa ragu, Lan Mei menikam dirinya sendiri.
Wei Feng meraung, memeluk tubuh Lan Mei yang lunglai. Darah mewarnai jubah nilanya menjadi merah tua. Dia tahu, di saat itu juga, sebagian dari dirinya ikut mati bersamanya.
Bertahun-tahun kemudian, Wei Feng, kini menjadi pemimpin klan Wei, mendapati dirinya berjuang melawan penyakit misterius yang perlahan merenggut nyawanya. Dokter kerajaan tak mampu mendiagnosisnya. Tabib istana hanya menggelengkan kepala.
Penyakit itu bukan berasal dari racun, bukan pula dari kutukan. Namun dari sesuatu yang lebih halus, lebih kejam. Perlahan, namun pasti, semua kekayaan dan kekuasaan Wei Feng menguap, diambil satu per satu. Kerajaannya goyah, musuh-musuhnya bangkit, dan nama Wei Feng dilupakan. Seolah, tak pernah ada.
Orang-orang berkata, "Mungkin, ini adalah takdir. Keadilan untuk darah yang telah tertumpah."
Di ambang kematiannya, Wei Feng merenung. Apakah ini balas dendam Lan Mei? Atau hanya takdir yang menuntut keadilan?
Cinta yang telah mati, meninggalkan bisikan dendam yang tak pernah terucapkan.
You Might Also Like: Peluang Bisnis Skincare Bisnis